Manchester United dan Sejarah Chants Sepakbola

 

   Manchester United fans, seperti kebanyakan fans sepakbola di seluruh dunia, memiliki tradisi chanting yang menjadi kebanggan. Chant ini bisa sangat beragam dan bisa menjadi alat kritik, sarana untuk menyalurkan ide, menyulut api permusuhan, kasar, humoris, dan dalam beberapa kesempatan nampaknya tidak berarti apa-apa. Mengapa kita melakukannya dan apakah chant bisa menggambarkan diri kita atau bahkan menggambarkan budaya masyarakat secara keseluruhan?

   Pada dasarnya fans sepakbola melakukan chanting untuk mendukung klub kesayangan mereka. Fans dari semua klub sejatinya sangat paham jika sepakbola tidak hanya tentang kemenangan namun bagaimana caranya menjadi satu ikatan yang kuat meski berbeda latar belakang agama, adat, dan budaya. Chanting adalah perwujudan dari itu semua. Dengan benyanyi bersama, seluruh individu menjadi satu suara dan satu kesatuan.

   Tidak semua chants sepakbola mencerminkan sebuah identitas positif . Tapi karena ini adalah sebuah perwujudan kebersamaan maka akan terbentuk identitas kolektif yang berakibat memicu munculnya lawan dari kelompok lain yang memiliki identitas berbeda.

   Namun ini tidak hanya terjadi antar pendukung klub sepakbola saja, tapi juga bisa dialami  oleh pendukung klub yang sama seperti yang terjadi di Manchester United pada musim 2013/14 lalu. Setelah 25 tahun kesuksesan bersama Sir Alex Ferguson, United tetap bertahan namun mengalami musim yang sulit (menurut standart klub) bersama David Moyes. Setelah kekalahan kandang 0-3 dari Liverpool, fans di tribun mulai melakukan nyanyian yang berbeda. Ada yang tetap menyemangati, mengingatkan jika United tidak bisa terus berhasil, namun ada juga yang mulai menggunakan kata-kata kasar sebagai bentuk kekecewaan. Ini menunjukkan sebagian fans mulai memperlihatkan identitas baru mereka sebagai kelompok yang tidak mampu menerima keadaan sulit tersebut.

   John Williams, pengamat perilaku fans sepakbola, mengatakan kepada BBC: "Nyanyian setelah pertandingan itu jelas tidak mendukung sang manajer. Sebagian dari  mereka bernyanyi hanya untuk mengingatkan bahwa United adalah klub besar, menunjukkan kepada publik jatidiri mereka sebagai fans. Mereka seolah ingin mengajarkan banyak hal kepada manajer baru mereka".

   Ada ungkapan "kebencian adalah kenikmatan yang tahan lama" -- dan ada rivalitas dalam sepakbola Inggris yang melambangkan hal ini. Manchester United, Liverpool, dan Leeds menciptakan kebencian itu dan 'memeliharanya' terus menerus. Mereka bagai melakukan perang bersenjata saat memulai ejekan tentang Munich, Hillsborough, Heysel, dan Istanbul.

   Kadang batas dan interpretasi menjadi tidak jelas ketika fans sepakbola berbicara tentang rivalitas. Belakangan ini, United fans dikritik karena dianggap selalu mengejek Tragedi Hillsborough dalam chant "always the victim, its never your fault". Dalam pandangan yang netral, chant tersebut justru ditujukan untuk Luis Suarez atas kasus pelecehan rasialis terhadap Patrice Evra. Liverpool beserta fans bersikeras Suarez tidak bersalah meski sudah jelas terbukti dan FA sudah menjatuhkan hukuman. Pembenaran yang mereka lakukan membuat kesan jika Suarez adalah korban dan tidak bersalah.

   Terlepas dari interpretasi, chants sepakbola memang tidak selalu bisa diterima. Beberapa diantaranya mengejek karakteristik individual tanpa memedulikan ras, jenis kelamin, dan orientasi seksual yang berakibat rusak dan hilangnya sifat hakiki manusia: persahabatan, kesetiaan, humor, dan kemampuan menghadapi kesulitan -- menjadi sebuah sifat yang negatif, penuh prasangka, dan kebencian. Tujuan dasar chanting tidak bisa dijadikan pembenaran agar fans sepakbola bisa terus bernyanyi apapun yang mereka inginkan lalu melakukan tindakan kekerasan dan pelecehan -- meskipun tidak semuanya seperti itu.

   Meski bagaimanapun, masih ada kelompok orang yang klub kesayangannya kalah tiap pekan lalu bernyanyi "we lose every week, you're nothing special, we lose every week!". Ini patut untuk dihargai.







sumber: Stretty News dan buku "Who Are Ya? Who Are We?" karangan Andrew Lawn.